Sunday, May 28, 2006

Pulang, Mengungsikan istri

Sehari setelah gempa, saya putuskan memulangkan istri ke Wonosobo. Dia merasa sangat tidak enjoy dengan hidup di tenda, terutama pengalaman semalam tenda basah dan hujan menguyur, tidur tidak nyenyak. Saya berencana hanya satu hari nganter istri, seterusnya saya akan segera kembali ke Jogja bersama teman2 perumahan menjaga perumahan kami.

Alhamdulillah jalanan walau masih padat tapi masih normal, soalnya terdengar banyak kabar kalo kemarin jalanan sangat hiruk pikuk, orang banyak berlarian maupun berkenderaan lalu lalang dengan penuh ketidakpastian ketakutan tsunami.

Bahkan temen saya cerita; ”benernya saya gakyakin kalo tsunami air nyampai di Jogja, tapi karena semua orang berlarian, saya dan keluarga akhirnya juga ikut lari mencari tempat tinggi”. Padahal tempa tinggi adalah Sleman, sementara gunung Merapi di Sleman juga ada tanda2 meletus, komplitlah sudah ketakutan mereka sehingga jalanan penuh sesak.

Saturday, May 27, 2006

Hujan, Tenda Bocor, gempa susulan banyak....

Hari itu, berjalan serasa sangat lambat. Langit terik, debu banyak, gempa susulan masih banyak terjadi. Kita semua warga melengkapi semua peralatan untuk tenda dan dapur bersama. Was-was adanya tusnami sebagaimana Aceh 26 Desember 2004 kadang membayang di sebagaian warga, tapi alhamdulillah dapat kita redakan; laut selatan jaraknya lebih dari 30 Km, ketinggia Jogja dengan laut terpaut jauh, kita lihat saja bukit/gunung di selatan kita, kalo mau tsunami, air mesti melebihi gunung tsb, apa mungkin.

Malam tiba, saatnya persitiwa menegangkan terjadi. Gelap gulita di seluruh perumahan dan di desa-desa sekeliling. Kami bergantian berjaga-jaga mengamankan perumahan. Kadang bersahutan dengan keamanan dari kampung sebelah, masalahnya kita taktahu siapa dia, itulah yang membuat kita deg-degan. Cerita perampokan, penjarahan dll saat gempa sering terdengar, itulah yang kami khawatirkan, tapi alhamdulillah di perumahan kami tak terjadi.

Malam penuh kegentingan tibalah saatnya menimpa kami. Disaat gempa masih sering terjadi, hujan gerimis dan sesekali lebat menerpa kami. Tenda basah kuyup, maklum kami sangat amatiran dan sebisanya. Masuk rumah nggak berani, akhirnya terbagi dalam beberapa kelompok dan tiduran di teras. Begitu hujan lebat masuk dalam rumah tapi pintu dibuka lebar2, ketika gempa terjadi semua berhamburan keluar rumah.

Jika gempa tiada, masuk lagi ke teras dan rumah, gempa berhamburan lagi. Demikian seterusnya. Pakaian kami hampir semua basah, tapi terkalahkan juga dengan rasa kantuk, bahkan saya pun tertidur saat duduk di teras dengan pakaian basah, kena gerimis lagi....
Malangnya nasib kami....

Buat tenda, buat dapur bersama....

Alhamdulillah, walaupun perumahan baru dengan penghuni baru sekira 20-an (total rumah 150an), kebersamaan dan kesigapan telah ditunjukkan semua warga. Semua bahu membahu tanpa ada komando kami membuat tenda, apapun yang bisa dijadikan tenda kita berdirikan untuk tempat berteduh bersama, karena semua takut masuk rumah. Soalnya, gempa susulan masih sering terjadi dengan kekuatan yang masih cukup besar dan relatif sering.

Kita buat tenda di jalan masuk utama masuk perumahan yang memang sangat2 lebar. Taklupa, karena masih pagi, ibu2 juga dengan sigap segera mbuat dapur umum mbuat masakan, stok2 bahan makanan di dapur masing2 diangkut ke tenda. Alhamdulillah persaudaraan kami semakin erat. Makan pagi-tengah hari-dan makan malam bersama dengan makanan dan lauk seadanya.

Saya sengaja tidak membawa istri pulang ke Wonosobo karena ingin menikmati kebersamaan kekeluargaan diantara sesama warga perumahan. Terpikir jika disaat semua tetangga bahu membahu membuat tenda, bahu membahu mengamankan rumah, masak saya malah pergi meninggalkan mereka semua. Sebagai penghuni pertama, rasanya kok nggak bertanggungjawab kalo mau berbuat begitu. Ya, seharian dan semalaman, kami se-perumahan tidur dalam tenda.

Gempa.... istriku gimana ?????

Saya kehilangan kontak istri yang sendirian di rumah dan beribu perasaan menghantui apa yang terjadi dengan istri saya. Melihat orang2 berkumpul hati ini semakin sedih, ada apa yang terjadi. Melihat ada tetangga yang menatapku di dalam taxi, seolah ingin menyampaikan sesuatu, waduh hati ini sedih kabar apa.

Alhamdulillah, sesampainya di rumah, terjawablah sudah kesedihanku. Istriku dalam keadaan sehat walaupun agak takut dan trauma untuk masuk kedalam rumah. Ternyata saat gempa dia terperangkap di dalam rumah, nggak bisa membuka kunci rumah, tapi mungkin demikianlah cara Allah menyelamatkan. Soalnya, dinding pagar teras depan kami roboh, jika saat yang bersamaan istri bisa keluar rumah lewat tempat tsb, saya tidak bisa membayangkan apa yang terjadi.

Ya Allah, hari ini telah engkau selamatkan kami dari kematian, smg kami bisa mengambil hikmahnya dan menjadi hamba yang bersyukur dan semakin berserah diri kepada-Mu ya Allah, amien. Mobil kami alhamdulillah di garasi bagian dalam dan terbebas juga dari robohnya dinding pagar depan.

Kami segera ngubungi keluarga sebisanya sebelum batre HP habis, yang bisa ditelpon alhamdulillah, kalo nggak bisa ya cukup sms saja, yang penting mengabarkan bahwa keadaan kita sehat dan selamat, gakperlu gelisah.

Gempa Jogja 5.9 SR

27 Mei 2006 jam 6 pagi
Gempa bumi 5.9 Scala Richter melanda Yogyakarta.
Kami warga Jogja dan disekitarnya pagi ini jam 6 digemparkan dengan adanya gempa. Saat itu kami ber-4 (SND, AY, IH, NSW) dosen Teknik Elektro UAD semalam tidak pulang dan lemburan di kantor/kampus III lantai 2 untuk finishing membuat proposal PHK A2.

Awalnya kami taktahu ada apa, tiba2 guncangan hebat terjadi dan listrik seketika padam, untuk karena temen2 pada sigap langsung mengucap; “gempa.....lari keluar.... turun ke halaman”. Alhamdulillah, mlm itu AY dan NSW yang awalnya tidur, saya dan IH yang memang blas gak tidur, sehabis sholat shubuh semua di dalam 1 ruangan menghadap komputer untuk mencermati bersama proposal yang telah kita buat.

Begitu guncangan hebat terjadi, kami semua berhamburan keluar dan turun ke lantai dasar. Tampak pecahan genting beterbangan dan berserakan, alhamdulillah kami ber4 selamat takada kena satu apapun yang melukai. Bangunan kampus lantai 3 hampir semua roboh. Kami semua bergegas pulang untuk mengetahui kondisi keluarga dan rumah masing2, kita tinggalkan pekerjaan proposal.

Dalam perjalanan pulang, saat itu saya gakbawa mobil ke kampus (saya awalnya diboncengin IH, lalu naik taxi), kami lihat betapa hebatnya kekuatan gempa yang barusan terjadi. Banyak rumah roboh, pohon tumbang, debu2 mengepul, kendaraan terperosok, orang2 bergerombol dalam suasana tegang, ya tegang banget. Suasana semakin takmenentu ketika komunikasi via HP juga takbisa dilakukan.

Kami takmenduga dan mengira bahwa ini gempa tektonik. Soalnya dalam bulan2 terakhir ini, kami disibukkan dengan berita semakin meningkatnya aktivitas gunung Merapi Sleman (utara Jogja) yang mengeluarkan lahar dan diperkirakan bisa sewaktu2 meletus. Eh, info terakhir ternyata ini gempa berpusat di Bantul (selatan Jogja).

Setelah evakuasi dan pendataan korban berhari2 dilaksanakan, tercatat korban tewas lebih dari 6000 orang. Alhamdulillah, perumahan kami semua selamat, cedera yang haus ke RS pun tiada. Kalo kampung sebelah, denger2 ada 5 orang yang meninggal tertimpa bangunan rumah.