Saturday, September 12, 1998

Tawaran Beasiswa, bagi yang mau jadi dosen

Papan pengumuman di jurusan TE UGM dipampang pendaftaran beasiswa yang kelak setelah lulus S1 berminat jadi dosen.

Beasiswa ini diberikan kepada mahasiswa S1 tingkat akhir (Elektro, Mesin, Kimia), akan diberikan beasiswa sampai lulus S1 dengan catatan setelah lulus mengabdi pada perguruan tinggi yang memberikan beasiswa. Ada juga informasi iming-iming, kelak disekolahkan dulu S2 di luar negeri (denger2 di Inggris) sebelum mengajar...wah, seneng dan minat banget, sekolah S2 walaupun susah, tapi jalan2nya itu lho yang membuat saya tertarik.

Penawaran ada dari 2 perguruan tinggi negeri, yaitu di Riau (Sumatera) dan Mataram (Nusa Tenggara Barat). Takperlu lama berpikir, Oke, minat daftar sudah bulat. Tinggal milih mana ya diantara 2 tersebut. Cuma masalahnya, kok dua2nya luar jawa ya, kok jauh dari bapak-ibu, apa ya saya kuat ninggalin mereka.

Mataram? Walaupun dekat, rasanya kok hati kurang sreg, kurang familier. Riau walau jauh terkenal daerah kaya, lagian ada kakak pertama (mas Suparno) yang sudah menetap di Riau.

Ok, bismillah akhirnya saya putuskan daftar beasiswa calon dosen Riau aja.
Tak tahu pasti berapa akhirnya yang menjadi saingan, alhamdulillah saya termasuk salah 1 dari 5 mahasiswa (selang berapa lama ada susulan 5 nama lagi) yang diterima beasiswa calon dosen Riau dari Elektro UGM..... Beruntung, beberapa nama diantaranya akrab yang akan jadi kolega nun jauh disana, seperti Seto Miko 93 (dulu sekelas SMA), Makmur 93 (se-Budi Mulia), dll.

Alhamdulillah, sudah bisa mulai merajut dan menata serta menatap masa depan kelak mau jadi dosen di Riau, sebelum itu terbayang kelak akan sekolah dulu S2 di Inggris...ckckckckck.

Kalo taksalah beasiswa lumayan besar, kalo saat itu beasiswa PPA, Supersemar, Johanna per bulan sekira Rp 100.000, beasiswa ini sekira 320.000 sip dech.

Friday, September 11, 1998

Efek KP; Setelah lulus mau kerja apa?

Berat kerja di perusahaan, apalagi di Jakarta. Terpikir utk melirik profesi dosen.

Salah satu hikmah yang saya didapatkan saat KP adalah melunturnya keinginan saya untuk kelak bekerja di perusahaan. Terbayang pagi berangkat, sore pulang. Pekerjaan itu-itu saja, serasa kurang dinamis. Kok rasanya hidup monoton banget jadinya.

Kerja di kota besar seperti Jakarta? Wah, takterbayang betapa lebih beratnya. Di perusahaan yang tersedia dalam satu kompleks dengan perumahan saja serasa jenuh, apalagi jika harus naik kendaraan. Bahkan banyak cerita, karena tiap hari macet, kerja di Jakarta tak jarang yang berangkat pagi setelah Shubuh dan pulang dari kantor setelah Maghrib. Berangkat sebelum matahari terbit, pulang setelah matahari tenggelam. Meninggalkan rumah saat anak masih tidur, pulang sampai rumah anak sudah tidur....wah, gak nyaman banget kalo hidup seperti itu.

Sering berpikir, trus setelah lulus mau berprofesi jadi apa. Entah datangnya darimana, muncul keinginan untuk menjadi akademisi/dosen aja. Profil dosen dalam benak saya waktu itu diantaranya adalah; waktu fleksibel, tidak harus berangkat jam7 pagi dan pulang jam5 sore, tidak terlalu birokratis, atasan kajur/dekan/rektor yang sewaktu-waktu bisa dijabat bergantian (bukan seperti bos dan anak buah di perusahaan), merdeka secara penilaian dan akademis pada umumnya, kelak bisa sekolah lagi bahkan di luar negeri (bisa jalan2 dong hehehe), dan masih banyak lagi kelebihannya.

Kekurangan dosen yang terbayang adalah gajinya kecil. Tapi buru2 terjawab, pegawai negeri pun gajinya juga kecil, semua juga bisa pada hidup. Lagian, sebesar apapun gaji tetep kurang, yang penting bagaimana kita mensyukuri dan rizki Allah tidak terlalu sempit jika kita mau berusaha.... kayaknya dah mantep jadi dosen nih. Yah bismillah, kalo ada kesempatan jadi dosen, saya jadi dosen aja ah....

Wednesday, September 9, 1998

Adik Sukamti, santai alhamd banyak rejeki

Perempuan satu2nya, alhamd rejeki mudah

Lain adik Suranto, lain adik Sukamti (satu2nya perempuan dari 8 bersaudara). Adik perempuan ini alhamdulillah mudah rejeki. Untuk urusan sekolah, karena memang niatnya jadi bidan, maka tak ikut UMPTN. Satu2nya ya mesti kuliah di Akademi Kebidanan (Akbid) yang saat itupun memang masih sangat langka. Saat itu, Akbid Negeri belum ada, yang ada Akademi Perawat (Akper) negeri hampir di tiap kota besar ada.

Oleh karenanya, untuk perempuan satu2nya ini, ada perlakuan khusus, boleh kuliah di PTS karena jurusan yang diminati takada yang PTN. Pilihannya Akbid Aisyiyah Yogyakarta (berubah dan baru buka Akbid tahun ini, sebelumnya Akper), harapannya (saya, Suranto, Sukamti ngumpul di Jogja), juga dengan PTS islam mudah2an menjadikan dia lebih tahu tentang agama.

Alhamdulillah, walaupun cuma daftar 1 tempat, alhamdulillah keterima. Cuma satu yang aneh, saat pengumuman tidak datang ke Jogja karena pasrah : ”paling nggak ketrima”.. walah-walah saking pasrahnya dan pesimisnya, eh malah Allah memberikan dia rejeki ketrima, alhamdulillah.

Tahun ini, Sukamti juga masuk Akbid Aisyiyah Yogyakarta. Jadi 2 adik masuk kuliah bersamaan, bisa dibayangkan beratnya pontang-panting ortu cari biaya.

Kalau Suranto okelah, biaya kuliah di PTN standard, tapi yang Sukamti.... di Akbid sudah kebayang biayanya mahal, apalagi sumbangannya duh....duh... Kalo tak salah kami sudah ambil batas sumbangan yang minimal Rp 3 juta, itupun masih keteteran. Tiap semester minta penangguhan, hingga lunas baru pada tahun ke-3... kebayang saat yang sama membiayai 3 anak kuliah.